Mimisan bagi Ghyta Maharani sungguh menyiramkan trauma. Berulang kali
terjadi, darah mengucur dari lubang hidung tak berhenti beberapa hari. Padahal,
bagi kebanyakan orang, dengan sumbatan kapas atau bisa juga daun sirih, darah
pun mampet dalam hitungan menit. “Kalau ada orang bilang menangis darah, dia
benar-benar mengalaminya,” kata Onny, ibunda Gita, di rumahnya di kawasan Duren
Sawit, Jakarta Timur, pekan lalu. Saat ditemui Tempo, Gita duduk diapit ibunya
dan Muhammad al-Amin, ayahnya.
Keluarnya darah dari
pelupuk mata Gita terjadi pada awal ia masuk sekolah menengah pertama, empat
tahun lalu. Saat itu, dua lubang hidung Gita sudah ditutup dengan tampon kapas
dan diperban. Tapi darah dari hidungnya mencari jalan keluar lain. Gita pun
dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. “Itu pengalaman yang paling
susah aku lupakan,” kata Gita, kini 16 tahun.
Perdarahan ekstra juga terjadi saat Gita mengalami
haid pertama pada usia 13 tahun, dan pada tiga kali haid berikutnya. Banjir
darah yang bergumpal-gumpal lebih dari sepekan terus terjadi hingga Gita harus
dirawat di rumah sakit. Bahkan ia sempat mengalami koma lantaran haid ini.
Derita Gita baru berhenti setelah dokter memasukkan cairan pembeku darah (cryo)
ke tubuhnya.
“Berdasarkan hasil laboratorium, dokter mendiagnosis
Gita menderita penyakit Von Willebrand,” kata Al-Amin. Penyakit ini terjadi,
menurut Profesor Djajadiman Gatot, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Hemofilia
RSCM, jika seseorang kekurangan protein di dalam darah yang lazim disebut
faktor Von Willebrandnama dokter asal Finlandia (Erik von Willebrand) yang
mengurai masalah ini pada 1925.
Dunia medis menyebut Von Willebrand sebagai penyakit
keturunan, meski dalam sejumlah kasus, dugaan itu tak selalu benar. Gita
misalnya. Onny dan Al-Amin mengaku tak mengidap penyakit itu.
Federasi Hemofilia Dunia menyebut prevalensi Von
Willebrand adalah 1 per 1.000. Lantaran gejalanya sangat ringan, banyak orang
tidak tahu bawa dirinya mengidap penyakit ini. Von Willebrand lebih banyak
menyerang wanita daripada pria.
Lantaran kasusnya terhitung berat, tiap kali Gita
diopname, baik saat mimisan maupun haid, Al-Amin, pegawai swasta di bidang
pengerahan tenaga kerja Indonesia, harus merogoh koceknya puluhan hingga
ratusan juta rupiah. Untuk mencegah agar gadis hitam manis itu tak mengalami
haid yang tak kunjung rampung, dokter menyuntikkan hormon leuprorelin acetate.
Kini, meski hormon itu sudah berhenti disuntikkan, kata Gita, siswa kelas I SMA
Negeri 71 Jakarta, “Aku tak haid lagi.”
Sebagai pengidap Von Willebrand, Gita sejak kecil juga
gampang mengalami lebam dan bengkak jika tubuhnya terbentur sesuatu. Kalau dia terlalu
lelah, pembengkakan dan nyeri di persendian, seperti di siku atau lutut, juga
acap muncul. Agar penderitaannya tak makin hebat, ia cepat-cepat meminum obat
asam traneksamat dan mengompres sendinya dengan es (icepack). Setelah nyeri dan
bengkaknya hilang, Gita pun bisa beraktivitas lagi. Di sekolah, semua pelajaran
dia ikuti, kecuali olahraga.
Menurut Onny, sejak SMA, Gita tak lagi mimisan,
sedangkan haidnya belum juga muncul. Ia berharap kondisi anaknya itu makin
kuat. Sebab, jika Gita harus diopname lagi, biayanya lumayan besar, apalagi
tanpa bantuan sepeser pun dari pemerintah. “Kami berharap pemerintah bisa
membantu atau malah membebaskan biaya bagi penderita Von Willebrand dan
hemofilia,” kata Onny.
Sumber: Tempo
foto keadaan dia yang terakhir saat dia koma selama 5
hari
begitu tersentuh melihat perjuangan dan keadaan dia
untuk menjalani penyakit ini.
akhirnya berakhir lah penderitaan dia.
walaupun aku gak kenal kamu ghyta, tapi doa ku dan doa
kita semua selalu menyertaimu.
semoga amal-amal Ghyta semasa hidupnya diterima di sisisi
Allah dan segala kesalahannya di maafkan oleh Allah. semoga ghyta mendapatkan
tempat yang layak disisi Allah.
amiiiiiiiiiiiiinnnn
selamat tinggal Ghyta
Innalilahi, dia masih muda tapi umur siapa yang tau. May she rest in peace :(
BalasHapus