Memoriku
Kembali ke Masa Itu
Namaku
Nadia. Lia Nadia Putri. Jenis kelamin perempuan, dan saat ini aku sedang berhadapan
dengan sebuah laptop ditemani sunyinya malam dan senandung lagu yang memanjakan
telingaku. Malam ini merupakan malam yang panjang bagiku. Menyelesaikan tugas
kuliah dengan sistem kebut semalam. Meskipun masih ada waktu esok hari, tetapi
buatku rasanya cukup mengerjakan semalaman. Bukannya sombong, hanya saja aku
begitu menyukai tugas ini, ya tugas membuat cerpen. Dari kecil hobiku adalah
menulis cerita di sebuah
buku harian, ini karena sifatku yang tertutup. Buatku tidak mudah menceritakan
apa yang aku rasakan kepada seseorang, bukan pula karena tidak mempercayai
seseorang itu, akan tetapi karena aku tidak yakin ia akan merasakan hal yang
sedang aku rasakan.
Sampai
suatu hari aku merasakan diriku mulai terbuka, ya terbuka. Terbuka karena
dirinya bisa membawaku pada keterbukaan itu. Walaupun tidak pesat, setidaknya
aku mulai bisa menceritakan apa yang aku rasakan sedikit demi sedikit
kepadanya. Dia adalah seorang laki-laki yang hampir setiap hari di beberapa
bulan belakangan ini mengisi hari-hariku. Namanya Gian. Dia ganteng, putih, tinggi, mancung, pintar. Tak heran banyak
yang mengidolakannya. Mulai dari mencari tahu namanya sampai meng add semua akun social medianya.
Terkadang aku masih tidak percaya bisa sedekat ini dengannya.
“Nad, hari ini free
? “ Gian mengirim pesan singkat.
“iyaa free, kenapa ? “ sesegera aku membalas pesannya.
“Tau ice cream mantan ?” dia bertanya.
“Tau”
“Adanya di mana ya ?”
“Kayanya dekat kampus ada deh” aku menjawabnya kurang
yakin, karena akupun belum pernah kesana.
“kesana yuk?” dia mengajakku.
Aku dan Gian berbeda jurusan, aku mengambil jurusan Sastra
sedangkan Gian mengambil jurusan Hukum. Akan tetapi hari ini jadwal kita sama,
di gedung kampus yang sama dan waktu yang sama hanya saja ruang kelasnya
berbeda. Setelah selesai matakuliah terakhir kitapun bertemu di lobby. Dia
menghampiriku yang sedang duduk menunggunya di lobby kampus sejak beberapa
menit lalu.
“Jadikan ?” Gian membuka obrolan.
“Iya jadi.” Jawabku.
Kemudian kita berjalan berdampingan menuju parkiran. Ada perasaan
aneh menghampiriku, meski aku dan Gian sudah sering jalan berdua. Entah perasaan
aneh apa itu.
Sesampainya di tempat itu, kita mulai memesan ice cream
yang kita inginkan. Ice cream mantan, ice cream yang sedang naik daun saat ini.
Aku juga belum mencobanya, walaupun aku merupakan salah satu pencinta ice
cream. Mungkin yang bikin ice cream ini naik daun karena namanya unik, ice
creamnya juga dibentuk dan dihias seperti kuburan. Dekorasi tempatnyapun memang
cocok untuk menjadi tempat berkumpul bersama teman-teman.
“Nad, ngobrol serius yuk?” Gian menatapku serius.
“Ha? Serius ?” Aku menjawabnya dengan nada heran, duuh
aku paling tidak suka sedang berdua dengan teman, lalu ngobrol serius. Karena aku
tidak menyukai suasana canggung.
Suasanapun hening. Gian seperti sedang memikirkan
sesuatu. Aku memerhatikan wajahnya seperti orang kebingungan untuk memulai
pembicaraannya.
“Kenapa sih lo nutup hati lo?” Gian memulai obralan
serius ini.
Aku terdiam rasanya tidak ingin menceritakannya, kemudian
aku mulai mengeluarkan kata-kata.
“ Karena gue susah ngasih perasaan gue buat orang lain,
menurut gue mungkin belum saatnya aja buat gue buka hati. Karena sampai saat
ini belum ada yang bisa ngebuat gue yakin untuk ngebuka hati gue.”
“Bukannya lo deket sama beberapa cowok?” Gian bertanya
heran.
“Iyaa deket, gue emang gampang deket sama cowok. Entah kenapa
main sama cowok lebih seru aja, engga ribet, lebih banyak ketawanya dari pada
ngegosip, bukan berarti gue gak suka kumpul sama temen cewek juga sih. Nah sama
mereka juga menurut gue cuma sekedar deket, engga ada yang spesial.”
“Tapi bukannya lo sering jalan berdua?” dia bertanya
kembali.
“Keliatannya aja sering, kalo dibanding dengan penolakan,
lebih sering gue nolak untuk jalan berdua. Bagi gue engga adil aja, ketika gue
tau dia ada perasaan buat gue lalu gue membiarkan dia terus berharap sama gue.”
Aku menjelaskannya.
“Terus kenapa pernah jalan berdua?” rasa ingin tahu Gian
semakin dalam.
“Karena menurut gue, dia cuma penasaran sama gue bukan
karena benar-benar tertarik sama gue. Gue kasih kesempatan jalan berdua, biar
menjawab rasa penasarannya. Setelah itu gue ngejauh, biarkan dia menghilangkan
rasanya perlahan sebelum rasanya semakin dalam ke gue. “ aku menjelaskannya
perlahan.
“Coba deh lo mulai buka hati lo, jangan selalu nutup hati
lo gini. Mau sampai kapan?.” Gian memberikan saran.
“Sampai nanti ada yang bisa ngeyakinin gue buat buka hati
ini.” Aku menjawabnya santai.
Jawabanku terakhir sepertinya mengakhiri obrolan serius
kita, entah apa yang sedang Gian pikirkan. Kitapun terlalut dalam canda dan
tawa, setelah suasana canggung tadi. Lalu sebelum kita pulang Gian memberikan
sebuah kertas kepadaku.
“Baca deh” Gian meletakkan kertas itu dihadapanku.
“hmmmm” aku bingung. “Baca nih?”
Gian menganggukkan kepalanya.
Aku mulai membacanya kata demi kata. Seperti ada sesuatu
yang menusuk hatiku, bahkan air mataku sudah mulai terbendung dimataku. Selesai
membaca aku mengembalikkan kertas itu kepadanya.
“Ini buat siapa?” kalimat pertanyaan ini yang akhirnya
keluar dengan menahan sejuta perasaan.
“Buat lo.” Dia berkata tegas.
Speachless, aku benar-benar tidak bisa mengeluarkan satu katapun. Aku
terdiam kebingungan, seperti ada yang sedang merasukiku. Meskipun aku merasakan
bahwa surat ini buatku, namun aku sempat mengelaknya dan berpikir bahwa ini
buat orang lain. Dia hanya ingin meminta pendapatku tentang surat ini. Tetapi nanyatanya
ini benar-benar buatku. Aku menatapnya, matanya benar-benar meyakinkanku,
walaupun tetap saja aku masih tidak percaya. Kata-kata itu begitu indah buat
seseorang sepertiku.
“Buat gue ? serius ? lo engga salah ?” Aku butuh
keyakinan.
“Serius.” Dia menjawabnya dengan singkat dan jelas.
Lagi-lagi aku masih belum bisa menanggapi surat itu. Rasanya
ingin meneteskan air mata bahagia. Tapi aku masih kaku, tidak tahu harus
bagaimana. Karena aku masih belum siap membuka hatiku.
“Tenang, gue bukan nembak lo ko. Cuma biar lo tau aja apa
yang gue rasain ke lo.” Gian membuat suasana tegang ini cair kembali. Seolah Gian
tau apa yang sedang aku rasakan. Aku pun hanya menanggapinya dengan anggukan
dan berterimakasih buat kata-katanya yang begitu indah, dan buat perasaannya
saat ini.
Semenjak itu aku mulai merasakan, diriku mulai terbuka
kepadanya sedikit demi sedikit. Memoriku kembali ke masa itu.
Tak terasa tugas cerpenku
telah selesai. Aku segera menutup laptop yang sejak 11.00 malam tadi berada
dihadapanku, akupun mendatangi kasurku.Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari,
pantas saja mataku terasa berat. Aku merebahkan badanku, dan perlahan aku mulai
memejamkan mataku. Malam panjang inipun berakhir.
Penulis
Meidia Lestari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar