Sabtu, 23 April 2016

Karya Non Ilmiah : Cerpen

Memoriku Kembali ke Masa Itu

Namaku Nadia. Lia Nadia Putri. Jenis kelamin perempuan, dan saat ini aku sedang berhadapan dengan sebuah laptop ditemani sunyinya malam dan senandung lagu yang memanjakan telingaku. Malam ini merupakan malam yang panjang bagiku. Menyelesaikan tugas kuliah dengan sistem kebut semalam. Meskipun masih ada waktu esok hari, tetapi buatku rasanya cukup mengerjakan semalaman. Bukannya sombong, hanya saja aku begitu menyukai tugas ini, ya tugas membuat cerpen. Dari kecil hobiku adalah menulis cerita di sebuah buku harian, ini karena sifatku yang tertutup. Buatku tidak mudah menceritakan apa yang aku rasakan kepada seseorang, bukan pula karena tidak mempercayai seseorang itu, akan tetapi karena aku tidak yakin ia akan merasakan hal yang sedang aku rasakan.
Sampai suatu hari aku merasakan diriku mulai terbuka, ya terbuka. Terbuka karena dirinya bisa membawaku pada keterbukaan itu. Walaupun tidak pesat, setidaknya aku mulai bisa menceritakan apa yang aku rasakan sedikit demi sedikit kepadanya. Dia adalah seorang laki-laki yang hampir setiap hari di beberapa bulan belakangan ini mengisi hari-hariku. Namanya Gian. Dia ganteng, putih, tinggi, mancung, pintar. Tak heran banyak yang mengidolakannya. Mulai dari mencari tahu namanya sampai meng add semua akun social medianya. Terkadang aku masih tidak percaya bisa sedekat ini dengannya.
“Nad, hari ini free ? “ Gian mengirim pesan singkat.
“iyaa free, kenapa ? “ sesegera aku membalas pesannya.
“Tau ice cream mantan ?” dia bertanya.
“Tau”
“Adanya di mana ya ?”
“Kayanya dekat kampus ada deh” aku menjawabnya kurang yakin, karena akupun belum pernah kesana.
“kesana yuk?” dia mengajakku.
“yuuuk”. Ada sedikit perasaan bahagia menghampiriku.
Aku dan Gian berbeda jurusan, aku mengambil jurusan Sastra sedangkan Gian mengambil jurusan Hukum. Akan tetapi hari ini jadwal kita sama, di gedung kampus yang sama dan waktu yang sama hanya saja ruang kelasnya berbeda. Setelah selesai matakuliah terakhir kitapun bertemu di lobby. Dia menghampiriku yang sedang duduk menunggunya di lobby kampus sejak beberapa menit lalu.
“Jadikan ?” Gian membuka obrolan.
“Iya jadi.” Jawabku.
Kemudian kita berjalan berdampingan menuju parkiran. Ada perasaan aneh menghampiriku, meski aku dan Gian sudah sering jalan berdua. Entah perasaan aneh apa itu.
Sesampainya di tempat itu, kita mulai memesan ice cream yang kita inginkan. Ice cream mantan, ice cream yang sedang naik daun saat ini. Aku juga belum mencobanya, walaupun aku merupakan salah satu pencinta ice cream. Mungkin yang bikin ice cream ini naik daun karena namanya unik, ice creamnya juga dibentuk dan dihias seperti kuburan. Dekorasi tempatnyapun memang cocok untuk menjadi tempat berkumpul bersama teman-teman.
“Nad, ngobrol serius yuk?” Gian menatapku serius.
“Ha? Serius ?” Aku menjawabnya dengan nada heran, duuh aku paling tidak suka sedang berdua dengan teman, lalu ngobrol serius. Karena aku tidak menyukai suasana canggung.
Suasanapun hening. Gian seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku memerhatikan wajahnya seperti orang kebingungan untuk memulai pembicaraannya.
“Kenapa sih lo nutup hati lo?” Gian memulai obralan serius ini.
Aku terdiam rasanya tidak ingin menceritakannya, kemudian aku mulai mengeluarkan kata-kata.
“ Karena gue susah ngasih perasaan gue buat orang lain, menurut gue mungkin belum saatnya aja buat gue buka hati. Karena sampai saat ini belum ada yang bisa ngebuat gue yakin untuk ngebuka hati gue.”
“Bukannya lo deket sama beberapa cowok?” Gian bertanya heran.
“Iyaa deket, gue emang gampang deket sama cowok. Entah kenapa main sama cowok lebih seru aja, engga ribet, lebih banyak ketawanya dari pada ngegosip, bukan berarti gue gak suka kumpul sama temen cewek juga sih. Nah sama mereka juga menurut gue cuma sekedar deket, engga ada yang spesial.”
“Tapi bukannya lo sering jalan berdua?” dia bertanya kembali.
“Keliatannya aja sering, kalo dibanding dengan penolakan, lebih sering gue nolak untuk jalan berdua. Bagi gue engga adil aja, ketika gue tau dia ada perasaan buat gue lalu gue membiarkan dia terus berharap sama gue.” Aku menjelaskannya.
“Terus kenapa pernah jalan berdua?” rasa ingin tahu Gian semakin dalam.
“Karena menurut gue, dia cuma penasaran sama gue bukan karena benar-benar tertarik sama gue. Gue kasih kesempatan jalan berdua, biar menjawab rasa penasarannya. Setelah itu gue ngejauh, biarkan dia menghilangkan rasanya perlahan sebelum rasanya semakin dalam ke gue. “ aku menjelaskannya perlahan.
“Coba deh lo mulai buka hati lo, jangan selalu nutup hati lo gini. Mau sampai kapan?.” Gian memberikan saran.
“Sampai nanti ada yang bisa ngeyakinin gue buat buka hati ini.” Aku menjawabnya santai.
Jawabanku terakhir sepertinya mengakhiri obrolan serius kita, entah apa yang sedang Gian pikirkan. Kitapun terlalut dalam canda dan tawa, setelah suasana canggung tadi. Lalu sebelum kita pulang Gian memberikan sebuah kertas kepadaku.
“Baca deh” Gian meletakkan kertas itu dihadapanku.
“hmmmm” aku bingung. “Baca nih?”
Gian menganggukkan kepalanya.
Aku mulai membacanya kata demi kata. Seperti ada sesuatu yang menusuk hatiku, bahkan air mataku sudah mulai terbendung dimataku. Selesai membaca aku mengembalikkan kertas itu kepadanya.
“Ini buat siapa?” kalimat pertanyaan ini yang akhirnya keluar dengan menahan sejuta perasaan.
“Buat lo.” Dia berkata tegas.
Speachless, aku benar-benar tidak bisa mengeluarkan satu katapun. Aku terdiam kebingungan, seperti ada yang sedang merasukiku. Meskipun aku merasakan bahwa surat ini buatku, namun aku sempat mengelaknya dan berpikir bahwa ini buat orang lain. Dia hanya ingin meminta pendapatku tentang surat ini. Tetapi nanyatanya ini benar-benar buatku. Aku menatapnya, matanya benar-benar meyakinkanku, walaupun tetap saja aku masih tidak percaya. Kata-kata itu begitu indah buat seseorang sepertiku.
“Buat gue ? serius ? lo engga salah ?” Aku butuh keyakinan.
“Serius.” Dia menjawabnya dengan singkat dan jelas.
Lagi-lagi aku masih belum bisa menanggapi surat itu. Rasanya ingin meneteskan air mata bahagia. Tapi aku masih kaku, tidak tahu harus bagaimana. Karena aku masih belum siap membuka hatiku.
“Tenang, gue bukan nembak lo ko. Cuma biar lo tau aja apa yang gue rasain ke lo.” Gian membuat suasana tegang ini cair kembali. Seolah Gian tau apa yang sedang aku rasakan. Aku pun hanya menanggapinya dengan anggukan dan berterimakasih buat kata-katanya yang begitu indah, dan buat perasaannya saat ini.
Semenjak itu aku mulai merasakan, diriku mulai terbuka kepadanya sedikit demi sedikit. Memoriku kembali ke masa itu.
Tak terasa tugas cerpenku telah selesai. Aku segera menutup laptop yang sejak 11.00 malam tadi berada dihadapanku, akupun mendatangi kasurku.Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari, pantas saja mataku terasa berat. Aku merebahkan badanku, dan perlahan aku mulai memejamkan mataku. Malam panjang inipun berakhir.          


       Penulis

Meidia Lestari


Tidak ada komentar:

Posting Komentar